loading…
Mengenali pasangan, keluarganya, dan histori diri sendiri sudah sepatutnya menjadi kewajiban sebelum memasuki hubungan pernikahan. Foto Ilustrasi/iStock
Fenomena kegagalan rumah tangga sendiri, dalam ilmu family constellation atau konstelasi keluarga, dipahami sebagai akibat tidak pulihnya pola rantai toksik yang diwariskan orang tua dan leluhur. Oleh karena itu, mengenali pasangan, keluarganya, dan histori diri sendiri sudah sepatutnya menjadi kewajiban sebelum memasuki hubungan jangka panjang.
Sebuah pertanyaan besar pun muncul, berapa lamakah idealnya durasi mengenal pasangan hingga pas untuk memutuskan menikah?
Menurut Family Constellation Therapist Meilinda Sutanto, penentu utama seseorang untuk memutuskan menikah bukan masalah waktu. Namun, seberapa mereka saling jujur dan terbuka dengan pasangan.
“Apakah nyaman dan aman menjadi diri sendiri ketika bersamanya? Apakah kalian dapat saling menginspirasi untuk menjadi versi terbaik masing-masing?” beber Melinda dalam acara peluncuran buku keduanya berjudul “I DO” di kawasan Jakarta Pusat, belum lama ini.
Lebih lanjut Meilinda mengatakan, ketika seseorang sudah aman dan nyaman dengan pasangannya, barulah dia perlu memikirkan waktu dalam menjalin hubungan.
“Waktu diperlukan untuk melihat sisi pasangan secara keseluruhan, yang baik dan yang tidak. Bukan sisi yang baik saja ditampilkan supaya pernikahan cepat goal. Ada yang pasangan berpasangan setelah 7-8 tahun dan putus begitu saja karena sesimpel orang tua tidak setuju dengan pernikahannya, dan anak lebih memilih mendengarkan orang tua karena takut dicoret dari KK dan warisan keluarga,” papar Meilinda.
Dalam beberapa kasus, tak jarang pula sejumlah pasangan melakukan peranjian pranikah. Hal ini tentu ada plus minusnya, mengingat tak semua pihak akan setuju dengan perjanjian tersebut.
Melinda Susanto baru-baru ini merilis buku keduanya berjudul “I DO”. Foto/MPI/Dimas Andhika Fikri
Meilinda menyebut, perjanjian pranikah berfungsi seperti asuransi keamanan untuk masa depan kedua pasangan. Sehingga ini kembali kepada pilihan pribadi masing-masing.
“Ini pilihan pribadi. Banyak pihak keluarga yang ekonominya lebih berada cenderung menyarankan untuk perjanjian pranikah, dan pihak keluarga yang ekonomi lebih di bawah pasangannya cenderung menolak atau tersinggung ketika diminta perjanjian pranikah,” kata Meilinda.