Jakarta (ANTARA) – Mary Jane Veloso, terpidana mati kasus narkoba, dilaporkan akan segera dipindahkan ke negara asalnya di Filipina. Sebelumnya, ia dijatuhi hukuman mati atas keterlibatannya dalam kasus dugaan penyebaran narkotika di Indonesia.
Dirinya bahkan hampir dieksekusi bersama beberapa terpidana mati kasus narkoba lainnya di era pemerintahan Presiden Jokowi pada 2015. Namun, Eksekusi tersebut dibatalkan setelah Mary Jane dinilai sebagai korban perdagangan manusia.
Lantas, seperti apa profil dan kronologi kasus Mary Jane Veloso, terpidana mati di Indonesia yang terjerat kasus narkotika dan mengaku sebagai korban perdagangan manusia? Simak penjelasannya berikut ini.
Profil dan kronologi kasus Mary Jane Veloso
Mary Jane Veloso merupakan seorang wanita berkebangsaan Filipina, dirinya menjadi perhatian internasional karena keterlibatannya dalam kasus narkoba. Lahir pada 10 Januari 1985 di Nueva Ecija, Filipina, ia adalah anak bungsu dari lima bersaudara dan berasal dari keluarga yang kurang mampu.
Kehidupan Mary Jane sangat memprihatinkan. Ia berasal dari keluarga miskin, dengan sang ayah bekerja serabutan di perkebunan. Di usia 17 tahun, Mary Jane menikah, namun pernikahan itu tidak bertahan lama.
Setelah bercerai di usia muda, ia harus menjadi tulang punggung keluarga dan membesarkan dua anak perempuannya seorang diri. Pada 2009, Mary Jane bekerja sebagai tenaga kerja wanita di Dubai. Namun, perjalanan hidupnya di luar negeri tidak berjalan mulus.
Setelah hampir menjadi korban kekerasan seksual dari majikannya, Mary Jane memutuskan pulang lebih awal dan menerima tawaran pekerjaan baru di Malaysia. Menurut pengakuannya, pada 2010, dirinya ditawarkan pekerjaan di Kuala Lumpur, Malaysia sampai akhirnya mengaku dijebak untuk membawa narkoba ke Indonesia.
Pada April 2010, Ia ditangkap di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, setelah pihak keamanan menemukan 2,6 kilogram heroin di dalam kopernya. Lalu, pada Oktober 2010, Pengadilan Negeri Sleman menjatuhkan hukuman mati kepada Mary Jane atas pelanggaran Pasal 114 ayat (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Dalam proses hukum, Mary Jane mengklaim bahwa dirinya merupakan korban perdagangan manusia. Ia menuturkan bahwa perekrutnya memanfaatkan kondisi ekonomi yang sulit untuk menipu dirinya. Klaim ini mendapat dukungan dari organisasi hak asasi manusia serta pemerintah Filipina, yang berusaha membuktikan bahwa Mary Jane bukanlah pelaku utama.
Mary Jane dijadwalkan dieksekusi pada April 2015 di Nusakambangan bersama dengan delapan terpidana mati lainnya. Namun, eksekusi tersebut ditunda pada menit-menit terakhir setelah Maria Kristina Sergio, tersangka perekrut Mary Jane, menyerahkan diri di Filipina. Presiden Filipina saat itu, Benigno Aquino, meminta agar Mary Jane diizinkan bersaksi dalam kasus perdagangan manusia yang melibatkan Sergio.
Sejak penundaan eksekusi pada 2015, upaya diplomatik terus dilakukan untuk membebaskan Mary Jane. Pada September 2022, Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr melalui Menteri Luar Negeri Enrique Manalo mengajukan permohonan grasi kepada Menlu RI Retno Marsudi.
Kemudian, pada awal 2023, Celia Veloso, ibu Mary Jane, meminta langsung kepada Presiden Joko Widodo agar putrinya yang telah menjalani hukuman selama 14 tahun di Indonesia dapat dibebaskan.
Puncak dari berbagai upaya tersebut terjadi pada November 2023, ketika Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan kemungkinan opsi pemindahan narapidana untuk Mary Jane ke negara asalnya di Filipina.
Baca juga: Mary Jane dipulangkan, Presiden Marcos puji hubungan RI-Filipina
Baca juga: Komnas HAM: Kasus Mary Jane bentuk diplomasi perlindungan warga negara
Baca juga: Filipina sebut kembalinya Veloso dapat selesaikan kasus perekrutnya
Pewarta: M. Hilal Eka Saputra Harahap
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2024