Hukum  

BNPT: Radikalisme tidak ada kaitannya dengan agama



Kebetulan di Indonesia itu mayoritas muslim sehingga semua teroris yang kami tangkap dan kami tahan KTP-nya muslim.

Jakarta (ANTARA) – Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) RI Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid mengatakan bahwa radikalisme maupun paham yang menyesatkan lainnya tidak memiliki kaitan dengan ajaran agama apa pun.

“Radikalisme, ekstremisme, dan terorisme tidak ada kaitannya dengan agama apa pun, apalagi dengan Islam,” kata Ahmad dalam diskusi bertajuk Mencintai NKRI dari Balik Jeruji: Efektivitas Deradikalisasi Napiter di Indonesia di Jakarta, Selasa.

Ahmad menjelaskan bahwa keterkaitan radikalisme dengan agama terjadi justru karena oknum umat beragama yang salah dan menyimpang dalam memahami dan mengamalkan ajaran agamanya.

“Ini biasanya menunggangi agama mayoritas di suatu wilayah atau suatu negara,” kata dia.

Aksi teror yang pernah terjadi di Selandia Baru beberapa waktu lalu yang dilakukan oleh oknum agama Kristen, sementara korbannya adalah penganut agama Islam.

“Di sana (Selandia Baru) mayoritas Kristen,” ujar Ahmad.

Menurut dia, aksi teror yang terjadi di Indonesia pada umumnya oleh oknum agama Islam karena merupakan agama mayoritas.

“Kebetulan di Indonesia itu mayoritas muslim sehingga semua teroris yang kami tangkap dan kami tahan KTP-nya muslim,” ucapnya.

Baca juga: Pengamat: Kebijakan cegah radikalisme perlu dilanjutkan-diperkuat

Baca juga: BNPT patroli siber pantau media sosial penyebar ideologi terorisme

Ahmad mengatakan bahwa terorisme tidak hanya mengatasnamakan agama. Dalam perspektif ketahanan nasional bangsa Indonesia, radikalisme dibagi menjadi tiga, yakni ekstremisme kanan, ekstremisme kiri, dan ekstremisme lainnya.

“Esktremisme kanan atau radikalisme kanan ini yang mengatasnamakan agama, apa pun agamanya,” tutur Ahmad.

Ekstremisme kiri mengatasnamakan paham tertentu, seperti komunisme, sementara ekstremisme lainnya dapat berupa sekularisme dan separatisme.

Menurut Ahmad, ketiga jenis radikalisme itu sudah pernah terjadi di Indonesia yang berujung pada aksi terorisme maupun pemberontakan.

Mengingat hal itu, Ahmad mengingatkan Indonesia perlu memperkokoh konsensus nasional, yakni dengan mempraktikkan nasionalisme moderat melalui pengamalan nilai-nilai Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945.

“Kalau tidak dibatasi dengan moderasi atau moderat, nasionalisme juga bisa berujung pada fasisme,” sambung dia.

Ia menambahkan bahwa penanggulangan terorisme harus secara holistik dari hulu ke hilir. Dalam hal ini, pertama, BNPT mengupayakan kesiapsiagaan nasional dengan cara menumbuhkan ideologi antiradikalisme kepada masyarakat.

“Kedua, kontraradikalisme. Baik itu kontra-ideologi, kontranarasi, maupun kontrapropaganda, terutama di dunia maya. Ini boleh dibilang keterpaparan terorisme saat ini hampir 80 persen karena dunia maya,” imbuh Ahmad.

Diskusi tersebut digelar oleh Indopos dan didukung oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM RI, serta Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).

Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2024

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *