Dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat, Dosen Magister Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta Prof. Sri Yunanto mengatakan di era Presiden Joko Widodo, penanganan masalah tersebut sudah sangat tegas dengan pembubaran berbagai organisasi yang jelas menantang Pancasila, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengusung ideologi khilafah.
Namun meski sudah dibubarkan, kata dia, sel-sel organisasi kelompok itu masih terus bergerak di bawah tanah. Bahkan pada pemilihan umum (pemilu) lalu, dia menilai kelompok tersebut sempat mengkristal dalam kelompok pasangan calon (paslon) tertentu yang tidak menang.
Dengan demikian, dirinya mengatakan para organisasi itu akan terus bergerak mempromosikan ideologi mereka dengan berbagai gerakan.
“Seperti beberapa waktu kemarin ada video viral kegiatan anak muda atau mahasiswa, di mana pembicara-nya mengangkat ide lama seperti anti-demokrasi, anti-pajak yang dibenturkan dengan zakat. Kemudian ujung-ujungnya anti-NKRI,” ungkap Sri Yunanto.
Sri Yunanto menuturkan kegiatan tersebut menjadi tanda usaha mereka untuk kembali ke permukaan, sejak HTI dibubarkan pada 2017, dengan memanfaatkan momentum politik, yaitu pemilu serta menjadi bukti meski organisasinya telah dibubarkan, tetapi kelompok itu masih eksis.
Untuk itu, dia berharap pemerintah baru nantinya harus waspada. Apalagi pemerintah baru memiliki rencana kebutuhan anggaran lebih besar di luar anggaran rutin dengan adanya pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) serta makan siang gratis yang dijadikan platform saat kampanye, sehingga sumber penerimaan harus digenjot.
Baca juga: BPIP: Terapkan nilai Pancasila untuk berantas praktik korupsi
Baca juga: LPOI-LPOK harap terbitnya Inpres larangan bagi ideologi anti Pancasila
Selain kontra narasi yang harus terus dilakukan untuk memerangi propaganda kelompok tersebut, dia berharap pula harus ada langkah pre-emptive dan preventif untuk menangani kelompok tersebut agar kelompok tidak semakin besar.
Apalagi setelah pemilu, lanjut dia, pada akhir tahun 2024 akan ada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak, sehingga bukan tidak mungkin kelompok itu akan bermetamorfosis mendukung calon-calon di pilkada serentak.
“Ini harus diwaspadai. Tapi saya tidak tahu apakah pemerintah seperti sudah punya pemetaan kira-kira pemain-pemain di provinsi dan kabupaten yang berpotensi menggunakan kelompok ini untuk mencari kemenangan,” ujarnya.
Sri Yunanto pun menilai pentingnya penguatan sinergi dan sinkronisasi antar-lembaga pemerintah untuk menangani masalah tersebut. Tetapi selain pemerintah, sambung dia, peran masyarakat untuk memerangi ideologi transnasional juga vital.
Dalam hal tersebut, dia mengatakan organisasi masyarakat yang besar dan mainstream di Indonesia harus mulai lagi menggelorakan wawasan kebangsaan dan keagamaan yang moderat melalui diskusi dan pembahasan yang harus difasilitasi dan didorong oleh negara.
Pasalnya, kata dia, tidak mungkin masyarakat memiliki inisiatif sendiri lantaran negara yang memiliki sumber daya.
“Marilah kita kembali ke jati diri bangsa Indonesia dengan bangkit menyuarakan pemikiran keagamaan moderat, inklusif, dan plural menuju Indonesia yang lebih baik dan lebih damai ke depan,” ucap Sri Yunanto.
Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2024