“Untuk mencapai 2030 supaya emisinya bisa turun secepat yang diharapkan, semua teknologi itu harus dilakukan. Sepanjang teknologi itu bisa menurunkan emisi, bukan menol-kan, tapi menurunkan, itu jauh lebih critical dan lebih penting,” ujar Bob dalam diskusi yang digelar di kawasan Kebayoran, Jakarta, Rabu (23/10) malam.
Menurut dia, meski tidak menghapus emisi sepenuhnya, teknologi yang mampu menurunkan tingkat emisi perlu diprioritaskan dalam strategi transisi energi. Bob menilai, transisi energi tidak harus sepenuhnya berbasis pada energi bersih yang nol emisi.
Penggunaan gas misalnya, meski tidak nol emisi, tetapi mampu menurunkan emisi hingga 60 persen. Selain itu, penggunaan biomassa, meski menghasilkan karbon dan metan, tetap dapat berkontribusi dalam penurunan emisi yang signifikan.
Baca juga: Ahli ungkap alasan kendaraan bioetanol tepat untuk bantu kurangi emisi
Baca juga: TMMIN: Hybrid dan bioetanol dapat bantu RI turunkan emisi selain BEV
“Tapi kalau itu bisa menurunkan emisi, kenapa kita enggak pakai kalau ternyata bisa menurunkan emisi. Jadi enggak usah semuanya itu harus net zero,” ucapnya.
Bob menyebut terdapat sejumlah negara yang mengalami greenflation atau inflasi hijau. Dia mencontohkan Prancis, di mana 70 persen energinya bersumber dari nuklir, namun justru mengalami hambatan ekonomi akibat fokus terlalu tinggi pada industri hijau.
“Semuanya itu harus menggunakan industri hijau, yang malah akhirnya fireback terhadap ekonomi Prancis. Begitu juga Inggris karena Brexit itu menyebabkan ekonomi Inggris jadi tertinggal. Sehingga akhirnya Inggris merevisi lagi targetnya dari 2030 menjadi 2035,” kata dia.
Dalam kesempatan itu, Bob juga menekankan pentingnya Indonesia untuk mengambil manfaat dari transisi energi ini. Dia mencontohkan Brasil yang sukses memanfaatkan bioetanol sebagai sumber energi alternatif.
Menurut dia, kesuksesan Brasil ini bisa menjadi tolak ukur bagi Indonesia untuk memanfaatkan potensi bioetanol yang dapat memberikan dampak positif tidak hanya pada penurunan emisi tetapi juga pada peningkatan ekonomi petani lokal.
Meski penggunaan bioetanol di Indonesia masih minim, namun potensinya sangat besar. Selain dari tebu, bioetanol juga bisa dihasilkan dari singkong dan jagung, yang telah diadopsi oleh beberapa negara lain dalam bentuk bahan bakar campuran E5 dan E10.
“Dan ini juga menurut saya salah satu program dari pemerintahan yang baru untuk mengembangkan etanol sebagai pilihan kedua dari biodiesel,” pungkas dia.
Toyota akan menggelar seminar nasional di Universitas Indonesia pada 30 Oktober mendatang. Seminar tersebut merupakan upaya advokasi publik untuk mendukung dan mewujudkan cita-cita Pemerintah, mencapai target masa depan Indonesia “Bebas Emisi.”
Seminar nasional di UI tersebut merupakan rangkaian dari seminar nasional dalam rangka memperingati 50 Tahun keberadaan Toyota Indonesia, hingga menuju 50 tahun mendatang berkontribusi bagi industri otomotif nasional.
Sebelumnya, seminar serupa telah digelar di enam universitas, yaitu Universitas Diponegoro, Universitas Udayana, Institut Teknologi Sepuluh November, Institut Teknologi Bandung, Universitas Negeri Sebelas Maret, Universitas Gajah Mada.
Rangkaian seminar nasional ini mengangkat tema “100 Years of Indonesia Automotive Industry, Realizing Indonesia Net-Zero Emission.”
Toyota Indonesia hadir dengan pendekatan multi-pathway, yaitu sinergi ragam teknologi kendaraan elektrifikasi dan pemanfaatan energi rendah emisi seperti biofuel (bio diesel dan bio ethanol) dan hydrogen, serta optimalisasi implementasi energi baru dan terbarukan (EBT) dalam proses manufaktur yang lebih ramah lingkungan.
Transisi menuju energi baru terbarukan memegang peran penting dalam menjaga ketersediaan energi dan lingkungan yang lebih hijau untuk generasi di masa yang akan datang.
Baca juga: Parlemen Eropa dorong bahan bakar alternatif setelah tahun 2035
Baca juga: Target nol emisi, Toyota siapkan kendaraan elektrik seluruh segmen
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2024